Buroq
Cerpen:
Ratih Kumala
Tak ada yang lebih aneh dari pada terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan
suci dan mendapati dirinya penuh mengingat mimpi yang baru saja turun dalam
lelap satu menit lalu; ia seorang bejat yang tak pernah salat- bermimpi bertemu
Muhammad. Bagaimana bisa?
Inilah yang dikerjakannya setiap hari, bangun menjelang siang setelah malamnya
menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di depan kios tattonya.
Tidak ada yang pernah benar-benar tahu siapa nama aselinya. Semua orang
memanggilnya Cimeng, tentu itu bukan nama aslinya. Kulitnya gelap dan dia
menggambarinya dengan tatto berwarna-warni. Dia menyebutnya seni,
teman-temannya menyebutnya keren, anak-anak ABG menyebutnya anak punk, sedang
tetangga-tetangga yang sudah pasti tidak menyukai kios tattonya menyebutnya
berandal.
Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia heran,
dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi
seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad
dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada
satu yang tidak jelas; wajah Muhammad.
Telah 10 hari bulan Ramadhan, dan ia baru tiga kali benar-benar berpuasa. Siang
saat ia bermimpi bertemu Muhammad adalah hari dirinya berpuasa untuk yang
ketiga kalinya. Bukan karena merasa wajib, tetapi karena hari itu ia malas
keluar dari rumah sewanya untuk membeli makanan. Hari itu diisinya dengan tidur
dan baru terbangun saat aroma bunga menyeruak hidung bercampur denting gerimis
yang membawa aroma tanah. Matanya terbuka, ia ngulet ke arah matahari datang.
Jendela terbuka menyuguhkan pemandangan mozaik, sedikit linglung merasa tak
pasti apakah itu pagi atau sore. Ia dibangunkan oleh mimpi yang aneh; lelaki
itu penuh wibawa berdiri di atas buroq; kendaraan yang konon lebih cepat dari
cahaya dan membawanya ke lapis langit ketujuh.
*
Saat terbangun, ia melihat pemandangan matahari kemerahan di balik jendela
terbuka, gerimis, serta pohon kamboja di sebelah rumahnya yang bertetangga
dengan kuburan kecil menyeruak aroma bunga merah muda. Ia mengingat-ingat,
apakah saat itu pagi atau senja. Usianya baru tujuh tahun tapi ia sanggup
berpuasa penuh. Ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu menyapa dengan
lembut, "Qatrun, salat asar dulu. Sebentar lagi magrib." Kini ia
tahu, dirinya terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci. Ia tak
bergegas, mengingat-ingat mimpinya satu menit yang lalu. Sebuah mimpi yang
jelas, hanya satu yang tidak begitu jelas; wajah Muhammad dalam mimpinya.
Sehabis berbuka puasa dan magrib lewat, Qatrun kecil mengambil sarung dan peci.
Teman-temannya berteriak memanggil-manggil namanya di depan rumah, mengajak
pergi ke surau berbarengan untuk tarawih. Kali ini setelah tarawih selesai ia
tidak langsung pulang. Bahkan saat teman-teman merayunya dengan segenggam
mercon yang disembunyikan di balik sarung untuk diledakkan di perempatan jalan,
Qatrun tetap berada di surau dan menunggu sepi, ingin berbicara dengan Ustaz.
"Ustaz, aku bermimpi aneh."
"Mimpi apa?"
"Muhammad."
"Kau mimpi bertemu Muhammad?" ia harus mengakui ada rasa iri
menyelip. Bahkan dirinya yang sudah berumur dan menganggap cukup taat belum
pernah mimpi bersua Muhammad. "Bagaimana ia?"
"Ia berdiri di atas buroq dengan wajah yang tidak begitu jelas dan menatap
ke arah kami."
"Kami?"
"Aku dan sekelompok orang. Tetapi mereka tidak ada yang percaya kalau dia
Muhammad. Hanya aku dan seorang laki-laki beraroma minuman keras yang berdiri
di sebelahku yang percaya."
"Lelaki beraroma minuman keras?" tanya Ustaz setengah sanksi. Qatrun
mengangguk yakin, "seperti apa buroq?"
"Seperti sampan panjang,"
"Lalu bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?"
"Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan."
*
Menjelang magrib, laki-laki yang dipanggil Cimeng itu berjalan ke mini market
dekat rumah sewanya dan membeli roti tawar untuk makan. Ia masih tetap
mengingat-ingat mimpinya tadi. Ada sekelompok orang, namun hanya dirinya dan
seorang bocah yang percaya bahwa lelaki yang berdiri di atas buroq itu adalah
Muhammad. Usai makan dan mandi, tangannya tergerak. Ia mengambil jarum tatto
dan mulai menggambar di lengannya. Sebuah sampan berwarna hijau dan sebuah
lingkar di atas sampan berwarna kuning. Warna cahaya.
*
Qatrun tahu, minum keras itu beraroma seperti apa walaupun ia tak pernah
menyentuhnya barang sedikit. Ia mengenali warna raut wajah memerah jika
seseorang mabuk. Ia juga tahu bahwa minuman keras itulah yang menyebabkan
ibunya memar-memar. Malam-malam saat ayahnya masih agak sering pulang ke rumah
dalam keadaan teler, ibu selalu menunggu hingga tertidur di kursi panjang yang
tak patut disebut sebagai sofa di ruang depan rumahnya yang kecil. Saat pulang,
tak jarang ayahnya membawa aroma sangit keringat bercampur minuman keras, penat
yang sangat, serta sedikit uang hasil menyupir truk. Itu bukan pemandangan baru
bagi Qatrun. Jika ibu bertanya habis dari mana, tangan ayahnya melayang ke pipi
ibu, meninggalkan bekas memerah. Sedang ia akan terbangun, mengintip dari balik
tirai pintu. Hingga suatu hari ayahnya tak pernah kembali walaupun ibu masih
menunggu pada malam-malam setelah isya' didirikan dan mengambil selembar bantal
tipis untuk menyangga lehernya di kursi panjang di ruang tamu mereka yang
kecil.
Di kamarnya yang kecil, Qatrun menggambar. Sebuah sampan panjang berwarna hijau
terang, dan sebuah lingkar di atas sampan yang dikelir warna kuning. Warna
cahaya.
*
Walau sekarang Ramadhan, dan Cimeng mengaku beragama Islam, ia tetap tidak
puasa, tentu saja. Ia sedang menerima order tindik di lidah seorang anak usia
SMA.
"Gambar apaan nih?" tanya ABG itu. Lengan Cimeng yang terbuka
memperlihatkan tatto-tattonya yang sudah tak terhitung. Anak itu tertarik pada
sebuah tatto yang baru dibuatnya dua hari lalu.
"Ini...," ia urung menjelaskan, "nurut elo gambar apa?"
"Bola naik perahu ya?" Cimeng hanya tersenyum atas jawaban si ABG.
Kios tatto di rumah sewanya baru sepi menjelang siang. Cimeng duduk terdiam, ia
tiba-tiba merasa lelah sekali. Dihitungnya sudah berapa lama dia pergi dari
rumah dan tak kembali. Ia hanya mengirimkan sesekali surat untuk rumahnya saja.
Tapi dia tak pernah benar-benar tahu apa yang ingin ditulisnya. Ibunya selalu
bertanya, kapan akan pulang. Semakin banyak tatto dan tindik yang dia buat di
tubuhnya, semakin urung pula ia pulang. Walau kadang-kadang ingin.
*
Malam berikut saat buka puasa Qatrun menunjukkan gambar itu pada ibunya.
"Gambar apa ini? Ibu ndak ngerti."
"Ini gambar mimpiku, Bu."
"Mimpi apa?"
"Ini Muhammad," katanya menunjuk gambar lingkar berwarna kuning,
"ini buroq, kendaraan saat Muhammad pergi ke langit ketujuh bersama
malaikat."
"Kapan kamu mimpi ini?"
"Kemarin, waktu tidur siang."
Ibunya terharu, mengelus pelan rambut anaknya. Seperti biasa, Qatrun selalu
pergi ke masjid untuk tarawih. Selesai tarawih kali itu pula ia tak langsung
pulang. Ditunjukkannya gambarnya pada Ustaz dan beberapa teman lain. Ia
jelaskan, gambar itu adalah Muhammad sedang naik buroq.
"Qatrun, hanya orang-orang terpilih yang bisa ditemui Muhammad di
mimpinya," ujar Ustaz.
"Apakah itu berarti aku orang terpilih?"
"Kau yakin tak berbohong atas cerita mimpimu itu? Berbohong itu
dosa." Teman-teman yang tadinya antusias mendengar cerita Qatrun bermimpi
bertemu Muhammad, jadi terdiam. Memandang bergantian antara Qatrun dan Ustaz.
Qatrun kecewa akan perkataan Ustaznya. Ia mengambil gambar itu.
Pergi dari surau dan tak pernah datang lagi untuk salat subuh, atau magrib,
atau isya� atau tarawih. Gambar itu diletakkan
begitu saja di atas meja. Tak pernah ia menyentuhnya lagi, hingga gambar itu
hilang entah ke mana. Qatrun sekarang lebih suka membuat bermacam-macam gambar
di bukunya. Tak hanya buku gambar, tapi buku tulis sekolah juga jadi penuh
gambar. Ia tak hanya menggambar gunung, sawah dan rumah kecil. Kini
gambar-gambarnya jadi berragam dan makin rumit. Qatrun pun jadi pendiam, hingga
suatu hari dia bercita-cita akan meninggalkan rumah jika sekolah selesai.
*
Kios tatto hari itu ditutup, rumah sewa juga tutup. Anak-anak punk dan ABG yang
sering mangkal di situ heran karena rumah itu tiba-tiba tutup dan digembok.
Cimeng pergi mematikan HP-nya setelah sebelumnya dia mengirimkan sebuah SMS ke
seorang temannya. Gue mudik, bunyi SMS itu.
Ia tak percaya, kampung kecil itu dijejakkinya lagi. Ia tak yakin ibu dan
teman-temannya masih mengenalinya setelah pergi dari kampung itu tujuh tahun
yang lalu, mengingat begitu banyak tatto dan tindik di tubuhnya sekarang. Ia
khawatir ibunya tak mengenalinya. Saat ia sampai dan mengetok-ngetok pintu,
rumah kecil itu tak dikunci. Cimeng masuk tanpa permisi. Seorang perempuan
paruh baya berjilbab tertidur di kursi panjang yang tak bisa disebut sofa
dengan sebuah bantal tipis menyangga lehernya. Selembar kertas bergambar sebuah
sampan berwarna hijau dan lingkaran kuning keemasan berada di dekapannya.
Bertahun-tahun, dan anaknya tak pernah tahu bahwa ia masih menyimpan gambar
itu. Ibu, Qatrun pulang.
0 comments