Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut
madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau
dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur
tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu
ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas,
yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan
'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa
benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus
dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada
nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian.
Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas.
Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu
diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan
mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
(minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah
tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu
hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan,
illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat
merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum
narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima
sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera
memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul
persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk
menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya
berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan
yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena
ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya)
tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu
ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan.
Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram
memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang
yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan
diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah
dibunuhnya.
c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di
sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk
melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya,
yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang
hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila
diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat
Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik
untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena
itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar
adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar
adzan Ju'mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam
melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau
kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum
peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian
yang kedua.
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab
yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar
hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan
dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak
membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan
dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang
Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a. Al-Qur'an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika
kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik
(bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah
SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan
al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah
mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh
menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu
dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam
al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya
dengan melakukan qiyas.
Artinya:
"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli
kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak
mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng
mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah
mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan
Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan
rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang
beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang
yang mempunyai pandangan yang tajam."
(al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil
abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang
mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada
manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada
kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman
melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka
akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan
bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan
perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai
gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila
dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan
berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz
berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya."
(HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh
melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab
pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah
pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar
melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia
meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW
menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu
mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada
Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada
Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa
ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum
sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah
SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal
dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau
menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada
manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah
lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW
menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama
diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang
sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam
shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai
kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada
Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan
cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang
dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan
Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap
perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada
pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran..."
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan
manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam
nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan
dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang
'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai
dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya
ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada
persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba.
Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara
qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan
al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus,
ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal,
merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau
kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi
sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu
ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu
yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari
peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan
harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas
maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.
3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas
Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima
qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan
keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah
SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah
SWT:
Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ': 36)
b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan
pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin
Khattab:
Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan
rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak
sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka
(saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak
menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi
berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan
walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal
yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah
Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah
melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang
penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin
Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas
memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih
mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an
dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan
hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut
adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan
al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah
rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara
berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak
berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan
diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar
kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
4. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
- Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih
(yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan),
atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
- Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang
diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
- Hukum
ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah
ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada
fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
- 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang
dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan
sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum
ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman
Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah
sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu
ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak
yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal,
ialah memakan harta anak yatim.
- Fara', ialah
menjual harta anak yatim.
- Hukum
ashal, ialah haram.
- 'Illat,
ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
5. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian
atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan
hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum
ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau
kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian
dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal
dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
b. Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal,
yaitu:
- Hukum
ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu
adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas
dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak
boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang
ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan
kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari
mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui
dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara' yang amali
kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai
sandaran qiyas.
- 'Illat
hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat
hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum
ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian
yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu
ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat
yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja
ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui
oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat raka'at,
apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya
tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula
ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa
diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan
sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
- Hukum
ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku
khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua
macam, yaitu:
- 'Illat
hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain.
Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang
masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau
kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa
'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
- Dalil
(al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku
khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti
beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja
dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun
beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat
yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal
serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya
hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan
tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam
bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak
kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan
tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan
pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan
keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu
sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan
mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum,
sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah
adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar
shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua
raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan
dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti,
seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak
membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama
lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka
'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai
akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan
pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang
dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada
siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur,
demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan
sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam
dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu
tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan)
disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang
membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum
dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab,
tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
- Sifat
'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera.
Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk
menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim,
terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan
harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal
bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat
'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak
dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
- Sifat
'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa
'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan
illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh
ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti,
karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah
memberi wasiat kepadanya.
- 'Illat
harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan
arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar,
karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara
akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja
adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu
terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
- 'Illat itu
tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang
dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu.
Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak
dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang,
berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang
lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain
setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari')
tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul
membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan
sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah
menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah
haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah
menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar
penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman
Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab
haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan
menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu
jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai
'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai
'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan
hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan
anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan
'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih
kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan
wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu.
Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan
'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan
wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula
diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh
mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi
tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya,
seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan
atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi
seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah
tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari
kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara'
sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya
diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun
hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk
atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan
laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu
mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara'
mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah
dua kali bagian perempuan.
3. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan
untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma' yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
- Munasabah
- Assabru wa
taqsîm
- Tanqîhul
manath
- Tahqîqul
manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu
sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang
demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang
disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa
yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau
isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada
'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu
sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat
daIam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan
sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah
yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan
kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang
membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak
mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat
peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna
dan ba'darrasûl merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan
kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging
binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan).
Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR.
an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW
melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang
memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat
ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang
memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash
kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena
kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah
SWT:
Artinya:
"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir
sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi,
kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada
perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan
fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah,
sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua
arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika
kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas
arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya,
atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu
dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat
itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat
itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu
peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena
beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW
memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan
isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa
karena ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud sahwi. Karena
bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan 'illat untuk
memerdekakan budak.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah)
dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah
tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan
antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut
bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang
merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat
yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian,
sedang barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat
perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah
SWT:
Artinya:
"...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada
mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat
('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan
rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah),
sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
"...dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga
mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas
('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian
(istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan
pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak)
sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan,
yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah
yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
b. Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum
baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang
belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
c. Dengan penelitian
Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1. Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan
atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah
persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubunganya
dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia.
Allah SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka
syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkat dharuri (yang harus ada);
b. Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan
c. Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).
Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat
kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a. Tingkat dharuri
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh
tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal
itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat
pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga,
setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama
berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah
seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu, ialah:
- Memelihara
agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar
menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu,
puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
- Memelihara
jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri,
disyari'atkan hukum qishash dan sebagainya.
- Memelihara
akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat
merusak akal;
- Memelihara
keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi
pelakunya; dan
- Memelihara
harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman
berat bagi perampok dan sebagainya.
b. Tingkat haji
Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang
dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi
kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada
mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT
selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan
dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan
sengsara. Haji terdapat pada:
- Ibadat,
seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau
musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau
musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan
sebagainya;
- Mu'amalat,
seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
- Adat,
seperti boleh berburu.
c. Tingkat tahsini
Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama
yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia
akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan
manusia tidak akan rusak. Diantara contoh taksini ialah:
- Dalam
ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan
yang sunnah dan sebagainya;
- Adat,
seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
- Mu'amalat,
seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana
yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk
tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang
berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannya jika
berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk
menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan
dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak
akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa
terpelihara.
2. Assabru wa taqsim
As sabru berarti meneliti
kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau
memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash
tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang
menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa taqsim adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar
benda-benda tertentu yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda,
berdasarkan sabda beliau:
Artinya
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, padi Belanda dengan padi Belanda, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda
jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan
kontan." (HR. Muslim)
Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits
di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena
itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para
mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan
sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum.
Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan
ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis
makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis
tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam yang lain. Pada
emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi Belanda dan kurma
terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat pertama
dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang dipunyai
oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa
keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan ukurannya
baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan sebagai
'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang sejenis
yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran, mutu dan
tidak pula dilakukan dengan kontan.
b. Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh
menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash
yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang
mungkin dijadikan 'illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat,
ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat
an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta
seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu
sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di
bawah perwaliannya.
3. Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada
pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama
sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang
tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ'
diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh
dari hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan
hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada
keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat
kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak
laki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari
hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
4. Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah
sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak.
Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin
ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin
pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah 'illat potong tangan
bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat
penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika
'illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut
Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil
harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak
menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.
6. Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas
'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.
a. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan
fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti,
tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
Qiyas jali terbagi kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti
memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam
nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara'
sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti
haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua
berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata
"ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana
hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua
lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang
diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi
fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding
dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim
diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama
menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya
berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak
yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam
perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta
anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada
ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan
mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung
kepada sisa minuman binatang buas. "IlIatnya ialah kedua binatang itu
sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa
minumannya itu. 'IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan
mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang
buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat
tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang
buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang
tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat
tanduk.
b. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut,
tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan
sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum
baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang
menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh,
karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama
dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya
kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan
sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di
dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil
(orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat
hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
c. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada
dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya
dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak
orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan
kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan
sebagainya.
0 comments