Mahkum Fihi
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus
dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus
dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada
mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
- Perbuatan
atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah
disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal
yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu
itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
- Dapat
diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup
dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.
- Diketahui
bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik
secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
- Mungkin
dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah
Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan.
Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk
dapat diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan
nadzar.
- Dapat
dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk
menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua
perkara, yaitu:
- Nadzar
yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin
dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum
dikerjakan.
- Pokok
bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat
mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga
iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut
di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
- Sanggup
mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan
oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau
mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat
dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang
dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu
perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak
sanggup melaksanakannya.
- Pekerjaan
(sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah,
bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa
boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan
terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat
dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
- Pekerjaan
yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di
bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan.
Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
- Yang
kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan
itu dilaksanakan.
- Yang
tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya
terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi
tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi
sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud
memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat menyukarkan. Dalam
kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para
mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa.
Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar
mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya
juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang
yang bernadzar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar
menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada
beberapa macam, yaitu:
- Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata.Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu.Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:
- Pekerjaan-pekerjaan
yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji,
umrah dan jihad.
- Pekerjaan
ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran
orang lain, seperti nafkah.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat,
seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti
membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita
mengerjakan tanah itu.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5
(seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian
yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari
harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan
Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum
minuman yang memabukkan.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima
pusaka dari orang yang dibunuh.
- Pekerjaan-pekerjaan
yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah,
karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan
budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu
lantaran berbuat kesalahan.
- Pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata.Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya.
- Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat.Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
- Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat.Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.
Mahkum Bihi
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut
dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib,
bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau
mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau
ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan
mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib,
tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai
makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam
uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum
disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify,
takhyiry dan hukum wadl'iy.
1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat
siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui
akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan
perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak
mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
- Wajib
muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib
kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar
kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya,
wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu
di sembarang waktu yang dia kehendaki.
- Wajib
muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang
diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa
Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena
itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah
ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam,
yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih
luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang
disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar
pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai
dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga
dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib
muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang
menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib
haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari
kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak
boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
- Wajib
ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang
dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas
seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya
itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa
Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
- Wajib
kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang
dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang
mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka
semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang
penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan
orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
- Wajib
muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan
syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
- Wajib
ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak
ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan
harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan
sebagainya.
- Wajib
mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang
dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca
al-Fatihah dalam shalat.
- Wajib
mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang
disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam
urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang
sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang
budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu
diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
- Wajib
mu'adda, yaitu segala kewajiban yang
dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di
dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
- Wajib
maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan
sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti
sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
- Wajib
mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang
dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan
tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut
wajib mu'âdah.
2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara'
agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada
musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala,
hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah
sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang
dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang
meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya
pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita
mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena
kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan
mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi
empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
- Sunnat
hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang
dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan
dan jama'ah.
- Sunnat
zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan
merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk
terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan
Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada
dua bagian:
- Sunat
muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap
dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak
dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat
rawatib dan sunnat fajar.
- Sunat
ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak
tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat
sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang.
Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat
siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
- Sesuatu
yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan
Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal
tersebut dinamai haram atau mahdzur.
- Sesuatu
yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang
dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut
istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk
ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila
mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang
tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif,
yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih;
(6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.
5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau
tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji
mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain:
"Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya,
dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
- Berdasarkan
penerangan syara;
- Syara'
mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak
suka tinggalkanlah dia itu.
- Syara'
mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
- Tidak
adanya penerangan syara; yakni syara' tidak
mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak
disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya
mubah.
6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut
istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi
dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang
diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang
ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau
kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau
mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban
shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat
Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga
menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu.
Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang
karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup
menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup
menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah
penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak
suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
- Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
- Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya.Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu
pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu
hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang
menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum
yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah
itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi
binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut
qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab
adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah
tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak
hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini
hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima
macam, yaitu:
- Mani'
yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang
merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan
harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu
menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh
menguasai dan mengambil manfaatnya.
- Mani'
yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan
akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A
menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika
tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
- Mani'
yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si
penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas
barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli):
"Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan
berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian
maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual
ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat
itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang
dibelinya.
- Mani'
yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar
ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna
sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima.
Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak
tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan
mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang
yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa
meminta persetujuan penjual.
- Mani'
yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib.
Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya,
sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan
cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia
kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas
kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan
ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
- Azimah.
Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara'
dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan
dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima
waktu.
- Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.
10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
- Melepaskan
tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan
shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi
persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan
penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si
penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan
mengurusnya.
- Memperoleh
pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya
amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu
bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan
ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak
dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah
menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
- Tidak
mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut
mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun
dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
- Tidak
mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.
0 comments