Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat
sahabat tersebut diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari
Rasulullah SAW.
1. Pengertian
Semasa RasululIah SAW masih hidup, semua masalah yang
muncul atau timbul dalam masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada
RasululIah SAW, dan RasululIah SAW memberikan jawaban dan penyelesaiannya.
Setelah RasululIah SAW meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong
ahli dalam mengistinbathkan hukum, telah berusaha sungguh-sungguh memecahkan
persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal sesuai dengan
fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini diiwayatkan oleh
tabi'in, tabi'it tabi'in dan orang-orang yang sesudahnya, seperti meriwayatkan
hadits. Karena itu timbul persoalan, apakah pendapat sahabat itu dapat
dijadikan hujjah atau tidak?
2. Pendapat-pendapat ulama
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat
yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a. Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat
tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW, karena pikiran tidak atau
belum dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah RA:
Artinya:
"Kandungan itu tidak akan lebih dari dua tahun
dalam perut ibunya, (yaitu tidak akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda
yang ditancapkannya." (HR. Daraquthni)
c. Pendapat sahabat yang tidak ada sahabat lain yang
menyalahkannya, seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6)
bagian waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak
sependapat dengannya.
Sedang pendapat sahabat yang tidak disetujui oleh sahabat
yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat ini dianut oleh golongan
Hanafiyah, Malikiyah dan Ahmad bin Hanbal dan sebagian Syafi'iyah, dan
didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin Hanbal mendahulukannya dari hadits
mursal dan hadits dha'if.
As-Syaukani menganggap pendapat sahabat itu seperti
pendapat para mujtahid yang lain, tidak harus kita mengikutinya.
0 comments