Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Tidaklah
kami, para sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mendapati masalah dalam
suatu hadits lalu kami bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melainkan
kami mendapatkan dari sisi beliau ilmu tentang hal itu.”
Dakwah sering diartikan identik dengan keluar rumah, bahkan
keluar daerah atau safar. Berdiri di atas podium atau mimbar, berceramah di
muka umum. Belum dinamakan dakwah apabila seseorang tinggal di dalam rumah dan
jarang keluar, khususnya bagi kaum hawa. Sehingga ada anggapan bahwa wanita
yang tidak keluar rumah dan tidak berdiri di atas podium atau berceramah di
hadapan umum tidak akan bisa berkiprah dalam lapangan dakwah. Justru isi,
substansi, dan tujuan dakwah itu sendiri sering dilupakan. Padahal itulah yang
terpenting.
Sudah menjadi kodrat Allah ta’ala ketika menciptakan wanita
berbeda dengan pria, baik dari sisi fisik, sifat, maupun karakter mereka.
Demikianlah fitrah yang ada dalam diri kaum hawa, meskipun mereka memiliki
kedudukan yang sama dengan kaum Adam, yaitu sebagai hamba Allah ta’ala dan
kewajiban sebagai manusia terhadap Allah.
Oleh karenanya, Allah memberikan kekhususan para wanita
dengan beberapa perintah dan larangan dalam syari’at yang berbeda dengan kaum
laki-laki, di antaranya adalah syari’at agar mereka tetap tinggal di rumah.
Jadi hukum asal seorang wanita adalah tinggal di dalam rumahnya. Tidaklah para
wanita keluar dari rumahnya melainkan untuk kebutuhan yang menesak dan hajat
yang tidak mungkin dilakukan di dalam rumahnya.
Sebagaimana Khadijah bintu Kuwailid radhiyallahu ‘anha,
seorang saudagar di dalam rumahnya merupakan salah satu sosok paling penting
dalam dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada fase paling berat di
awal masa diutusnya beliau sebagai seorang Rasul.
Lihatlah juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sosok teladan bagi
para wanita yang ingin terjun dalam kancah dakwah, dengan tanpa menguragi
kepribadian dan karakter seorang wanita yang secara fitrah dan syar’i adalah
tinggal di dalam rumahnya, dan tanpa berdiri di atas podium dan berceramah di
atas mimbar atau di hadapan umum. Namun begitu, ilmu yang ada pada dirinya
mengalir kepada para sahabat dan tabi’in, baik laki-laki maupun wanita. Mereka
datang dan bertanya tentang berbagai masalah dalam urusan agama.
Itu semua karena ilmu yang ada pada dirinya, pemahaman dan
fiqihnya yang sangat dalam dan luas hingga para sahabat menjadikannya sebagai
rujukan dalam berbagai masalah yang mereka hadapai. Apalagi dalam perkara yang
tidak diketahui kecuali oleh para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
terutama ‘Aisyah. Para sahabat bertanya kepadanya dari balik hijab, sebagaimana
hal ini diperintah Allah dalam firman-Nya:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا
فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS Al Ahzab: 53)
Ayat di atas hukumnya bukanlah khusus ditujukan kepada para
istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam saja, namun bersifat umum kepada
semua wanita. Bahkan, selain mereka lebih layak dan lebih harus mengamalkan
ayat ini. Sebab, apabila para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang telah menjadi ummahatul mu’minin (para ibu kaum mukminin), yang mana para
sahabat -manusia yang suci dan bersih hatinya- tidak boleh menikahinya
sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diharamkan untuk meminta
atau bertanya kecuali dari balik tabir atau hijab, lalu bagaimana halnya dengan
selain mereka? Tentu fitnah atau godaan yang dikhawatirkan dan ditimbulkan akan
lebih besar daripada mereka, para istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Bagaimana pula dengan wanita yang terjun ke dunia politik,
bergabung dengan laki-laki dan bersaing dalam memperoleh suara terbanyak untuk
mendapatkan kursi parlemen (dewan) atau jabatan dengan alasan dakwah dan
memperjuangkan hak para wanita? Atau mereka yang turun ke jalan berdemonstrasi,
membawa spanduk sambil meneriakkan tuntutan mereka, dan merasa dengan demikian
telah melakukan gerakan dan perjuangan dakwah membela Islam, bahkan menganggap
hal ini adalah salah satu bagian terpenting dalam Islam?!
Bandingkanlah dengan sosok ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Kaum
muslimin banyak mendapatkan warisan ilmu darinya dari balik tabir atau hijab
dan dari dalam rumahnya. Dia adalah sosok ulama teladan dari balik hijab dan
seorang wanita da’iya ilallah. Wanita paling fasih pada zamannya, seorang istri
yang paling dicintai oleh suami terbaik, di dunia dan akhirat. Juga seorang
wanita yang mendapatkan salam dari malaikat Jibril, dan tidaklah wahyu turun
kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan berada di dalam
selimut istrinya melainkan hanya dia, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Telah banyak laki-laki yang sempurna. Namun, tidaklah
sempurna dari kalangan wanita melainkan Maryam bintu ‘Imran dan Asiyah, istri
Fir’aun. Dan keutamaan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha atas para wanita adalah seperti
keutamaan tsarid atas seluruh makanan.” (HR Bukhari dalam kitab Fadho’ilush
Shahabah)
Keutamaan dan kesempurnaan seorang wanita terletak pada
ketaatan mereka kepada Allah ta’ala, kesabaran mereka di dalam menjaga dan
memelihara kehormatan dan keimanan, ketaatan, nasihat dan dorongan mereka
kepada suaminya, menjadi istri terbaik untuk suaminya, teman dan sahabat,
penasihat dan pendorong baginya untuk taat kepada Allah ta’ala dan berdakwah
ilallah. Juga menjaga kehormatan diri dan hartanya, mendidik dan berdakwah
kepada anak-anaknya hingga menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah hingga
mereka dewasa, dan sekaligus menjadi ibu yang terbaik untuk anak-anaknya,
menjadi teladan dan ustadzah bagi mereka dan juga teladan dan pendidik bagi
para wanita selainnya, serta berusaha untuk menjadi hamba terbaik untuk
Rabbnya.
Demikian seharusnya sosok wanita da’iyah terbaik, sebagai
buah dari ilmu yang ada pada dirinya. Sebab dakwah adalah ibadah, sementara
modal utama dalam dakwah adalah ilmu syar’i. Seorang wanita yang semakin
berilmu akan semakin menetap di dalam rumahnya. Dan bukanlah termasuk modal
dakwah dengan sekadar mampu dan berani bicara di hadapan umum, namun tidak
didukung oleh ilmu syar’i.
Kita tidak perlu terpukau dengan public figure yang
terkenal, fotonya banyak terpampang, sering muncul di televisi dan life show,
dan suaranya banyak terdengar di radio, aktivis organisasi, dan segala
kesibukan lain di luar rumahnya dengan nama emansipasi wanita dalam dakwah.
Semua itu tidak pernah ada pada masa salaf, generasi terbaik umat ini.
Sesungguhnya segala kebaikan adalah dengan mengikuti kaum
salaf, dan segala keburukan terdapat pada berbagi perkara dan pemahaman yang
diadakan oleh kaum khalaf (belakangan). Wallahu a’lam.
0 comments